Budi, sebut saja begitu, bocah kecil itu tengah sibuk menghitung kepingan rupiah hasil jerih payahnya mengamen. Profesi yang emang setiap harinya ia jalani. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hujan yang mengguyur kota Jakarta sudah mulai mereda. Menyisakan jalanan yang agak licin dan tanah basah. Di depan toko elektronik, Budi diam mematung sambil matanya tak berkedip melihat tayangan telenovela. Mungkin ia sedang mencoba memahami arti hidup ini. Sebab yang ia tahu dalam film, bahwa kehidupan itu serba mudah dan enak. Itu sebabnya, Budi sempat juga bermimpi ingin menjalani kisah hidup seperti dalam film itu.
Menjelang maghrib, Budi terlihat kembali memainkan gitar mungilnya sambil bernyanyi dengan suara yang super sumbang di sebuah bis kota. Ya, anak umur 11 tahun itu seperti nggak mengenal waktu. Sebab waktu baginya ibarat harapan, yang akan terus dikejar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa di jalanan adalah hidupnya. Ia nggak kenal siapa orangtuanya. Yang ia kenal hanya uang, petugas tramtib, dan teman sesama anak jalanan.
Dari hari ke hari hidup Budi adalah di jalanan. Langit jadi atapnya, dan angin menjadi selimutnya. Itu dilakoni bukan karena Budi betah dengan kehidupan seperti itu, justru ia pun pernah ingin untuk hidup seperti layaknya anak-anak lain yang punya orangtua. Di saat Budi harus bersusah payah mengumpulkan uang recehan di terik matahari dan guyuran hujan, anak-anak yang lain bisa sekolah, punya pakaian bersih, makanannya bergizi, dan bisa bercengkerama dengan ortunya di ruang keluarga dengan nyaman. Budi juga ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Sebab, sejak kecil Budi belajar sendiri tentang kehidupan jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.
Suatu ketika Budi pernah berdiri di depan sebuah Mal. Ia kebetulan melihat anak kecil dituntun ibunya menuju mobil. Mata Budi berkaca-kaca,
sebab ia tak pernah merasakan hal itu. Dalam kamus hidupnya selama ini, Budi tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya ketika ia pertama kali belajar bicara. Padahal yang ia tahu sekarang, ada orangtua yang ketika mengetahui anaknya pandai menirukan sesuatu, serta merta anaknya dipangku, dipeluk, diciumi, dan disapa dengan ucapan-ucapan yang lembut. Namun ia tidak merasakan kasih sayang seperti itu. Sebab, itu tadi, ia dibesarkan di jalanan, entah siapa orang tuanya, dan entah di mana mereka berada sekarang. Ia tidak tahu dan tidak peduli.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Budi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pengamen seperti Budi, entah sebagai penjual koran, pengemis, preman, pencoleng, pemulung, dan beragam “profesi” yang muncul akibat kebutuhan hidup yang makin mendesak dan mencekik leher.
Menjelang maghrib, Budi terlihat kembali memainkan gitar mungilnya sambil bernyanyi dengan suara yang super sumbang di sebuah bis kota. Ya, anak umur 11 tahun itu seperti nggak mengenal waktu. Sebab waktu baginya ibarat harapan, yang akan terus dikejar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa di jalanan adalah hidupnya. Ia nggak kenal siapa orangtuanya. Yang ia kenal hanya uang, petugas tramtib, dan teman sesama anak jalanan.
Dari hari ke hari hidup Budi adalah di jalanan. Langit jadi atapnya, dan angin menjadi selimutnya. Itu dilakoni bukan karena Budi betah dengan kehidupan seperti itu, justru ia pun pernah ingin untuk hidup seperti layaknya anak-anak lain yang punya orangtua. Di saat Budi harus bersusah payah mengumpulkan uang recehan di terik matahari dan guyuran hujan, anak-anak yang lain bisa sekolah, punya pakaian bersih, makanannya bergizi, dan bisa bercengkerama dengan ortunya di ruang keluarga dengan nyaman. Budi juga ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Sebab, sejak kecil Budi belajar sendiri tentang kehidupan jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.
Suatu ketika Budi pernah berdiri di depan sebuah Mal. Ia kebetulan melihat anak kecil dituntun ibunya menuju mobil. Mata Budi berkaca-kaca,
sebab ia tak pernah merasakan hal itu. Dalam kamus hidupnya selama ini, Budi tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya ketika ia pertama kali belajar bicara. Padahal yang ia tahu sekarang, ada orangtua yang ketika mengetahui anaknya pandai menirukan sesuatu, serta merta anaknya dipangku, dipeluk, diciumi, dan disapa dengan ucapan-ucapan yang lembut. Namun ia tidak merasakan kasih sayang seperti itu. Sebab, itu tadi, ia dibesarkan di jalanan, entah siapa orang tuanya, dan entah di mana mereka berada sekarang. Ia tidak tahu dan tidak peduli.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Budi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pengamen seperti Budi, entah sebagai penjual koran, pengemis, preman, pencoleng, pemulung, dan beragam “profesi” yang muncul akibat kebutuhan hidup yang makin mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
Inilah sepenggal cerita dari sudut remang-remang Jakarta, kota metropolitan di mana denyut kehidupan berlangsung terus menerus, sepanjang 24 jam sehari. Di ibukota ini, semua berhak hidup, termasuk anak-anak jalanan yang kini memenuhi jalan-jalan protokol di seluruh wilayah setiap harinya. Karenanya, meski hidup di sudut-sudut buram kota Jakarta, mereka adalah teman-teman kita juga. Yang kehilangan masa kanak-kanaknya direnggut kerasnya kehidupan jalanan. Sebagian besar hidupnya tak pernah mendapatkan kasih sayang dari ortu dan masyarakatnya.
Mereka ada di mana-mana
Berdasarkan hasil survai dan pemetaan sosial Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atmajaya-Jakarta, tahun 1999 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia mencapai 39.861 orang, terdiri atas 32.678 orang laki-laki dan 7.183 orang perempuan. Pada tingkat nasional terdapat sekitar 2,5 juta anak jalanan yang mendapat bantuan pembinaan keterampilan dari Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, Dinas Sosial, dan LSM. Sementara data dari Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat jumlah anak jalanan di Jakarta terdapat 10.800 orang. (Antara)
Dengan kenyataan seperti ini, banyak kalangan yang peduli untuk mengurus mereka. Maka bermunculanlah rumah-rumah singgah untuk sekadar menampung mereka, kemudian membekali dan mendidik mereka dengan keterampilan khusus untuk bisa menatap masa depan dengan lebih jelas dan terarah. Namun anehnya, mereka seperti semut yang nggak habis ditangkapi, terus-menerus bermunculan. Hingga banyak LSM yang menangani kasus ini kewalahan. Akhirnya, anak-anak lebih memilih hidup dengan caranya masing-masing. Dan tentu dari mereka lebih banyak melakoninya kembali di jalanan.
Padahal dalam usia-usia seperti itu, setiap “episode” kehidupan amat berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Maka jangan heran bin kaget kalo kemudian mereka belajar dari kehidupan yang salah. Sebab, siapa yang mau mengajari mereka? Sebagai contoh, anak jalanan yang umumnya laki-laki secara naluriah membutuhkan figur wanita dewasa sebagai pengganti ibu. Mereka kelewat cepat matang, mengenal seks kelewat dini, dan akrab dengan zat adiktif, seks, omongan dan tindakan jorok adalah dunia keseharian anak jalanan. Naudzubillahi min dzalik.
Nggak percaya? Silakan ngecek di stasiun, terminal, pasar, dan di jalan-jalan protokol kota besar. Memang sulit dipercaya, banyak orang miskin dan susah untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini—bahkan saking suburnya negeri ini, Koes Ploes pernah menyebutkan bahwa tongkat, kayu, dan batu pun jadi tanaman dalam sebuah lagunya. Coba saja, menurut data tadi, sekitar 2,5 juta anak jalanan ada di negeri ini. Dan perlu diketahui, bahwa jumlah itu nggak mutlak, artinya bisa bertambah. Sebab, siapa tahu yang nggak tercatat malah lebih banyak lagi dari angka itu.
Produk kapitalisme
Kalo kamu jalan-jalan ke kawasan perumahan elit di Pondok Indah Jakarta, rasa-rasanya kamu bakal berdecak kagum, dan secara spontan bakal meluncur kata-kata dari mulutmu, “Indonesia benar-benar makmur!”. Tapi kalo kamu teruskan perjalanan menyusuri jalan itu menuju Tangerang, sekitar 3 atau 4 kilometer bakal menemui antrean panjang kendaraan. Sebab di situ ada pasar tumpah di kanan-kiri jalan. Baru deh kamu bilang juga, “Indonesia amburadul!”
Kamu tahu kenapa bisa begitu? Sebab peredaran harta kekayaan njomplang alias nggak seimbang. Kelompok yang memiliki modal kuat, lobynya kuat, maka merekalah yang memenangkan pertarungan ini dan berhak dengan porsi kue pembangunan lebih besar. Itu namanya konglomerat. Sebaliknya, bagi kelompok yang moderat alias modal dengkul sama urat, mereka mencari nafkah dengan rasa cemas. Sebab yang ada dalam pikirannya, adalah pertanyaan-pertayaan seperti ini; “Hari ini dapat untuk makan nggak ya? Hari ini, bisa membelikan susu buat si kecil nggak ya? Hari ini, ada razia dari tramtib nggak ya?”
Tentu ini berbeda dengan para konglomerat, dalam pikiran mereka yang muncul adalah pertanyaan berikut; “Hari ini makan apa ya? Siang nanti makan di resto mana ya? Malam nanti makan dengan siapa ya? Dan, pagi nanti makan siapa ya?” Walah?
Hal itu benar-benar sudah terjadi di negeri ini, kawan. Di mana harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Pak AM Saefuddin yang mantan Menpangan itu, dalam sebuah wawancara dengan majalah PERMATA (edisi 13/V/Januari 1997) menyebutkan bahwa ada 200 konglomerat dari 200 juta penduduk Indonesia. Berarti sekitar 0,0001% memiliki sumber pendapatan nasional 60%. Sisanya, 40% dimiliki sekitar 99,9999% (199.999.800) penduduk Indonesia lainnya. Waduh, apa pula jadinya ya?
Ya, seperti sekarang ini, jutaan anak harus rela hidup di jalanan. Ini merupakan salah satu produk dari idiologi yang berakidah sekular ini. Sistem kehidupan kapitalisme emang jahat dan bathil, sobat. Sistem kehidupan ini telah membentuk manusia yang rusak bin bejat dalam gaya hidupnya.
Coba, apa sekarang para pejabat di negeri ini peduli sama nasib anak jalanan dan kaum miskin lainnya; baik di kota maupun di desa? Ah, kayaknya kamu yang rajin baca koran udah pada tahu mental para pejabat kita. Bener nggak? Pokoknya dari pejabat yang tingkat rendahan sampe yang menentukan kebijakan, hampir semuanya sulit dipercaya. Dulu ada pejabat pemda di wilayah Kalimantan, tiap minggu jalan-jalan ke Puncak di Bogor dengan mengatasnamakan perjalanan dinas. Kamu tahu di sana mereka ngapain? Ya, main golf. Belum lagi pejabat DPRD DKI, mereka malah melakukan studi banding ke Eropa dan Amerika. Hasilnya? Lebih banyak jadwal kunjungan ke daerah wisata ketimbang studi banding urusan pemerintahan.
Terakhir anggota DPR RI, ikut menyusul Megawati ke AS dengan alasan yang tak jelas. Semua itu. Sekali lagi. Semua itu dibiayai dari dana rakyat. Coba, kalo dana yang jumlahnya miliaran rupiah itu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, berapa banyak orang yang tadinya miskin menjadi mapan dan bisa hidup layak? Bener nggak? Lagipula, katanya anak-anak terlantar dan orang miskin sepenuhnya dipelihara oleh negara. Tapi kenyataannya? Memang dipelihara, maksudnya dipelihara supaya tetap ada!
Oya, bukan cuma bapak-bapak pejabatnya aja yang split personality, teman-teman remaja di negeri ini juga banyak yang amburadul kepribadiannya. Untuk yang berhubungan dengan masalah ini adalah masalah kepedulian terhadap sesama. Buktinya, tanggal 3 Oktober kemarin sekitar 6000 orang rela ngeluarin duit 350 ribu perak sampe 550 ribu perak untuk nonton konsernya The Corrs di Jakarta Convention Cente. Tuh, coba, betapa mudahnya “membuang” uang segitu banyak. Cuma untuk menikmati musik beberapa jam doang! Walah?
Tanggungjawab negara
Untuk menyelesaikan problem anak jalanan, yang merupakan salah satu produk peradaban kapitalisme ini, emang nggak bisa diselesaikan sendiri-sendiri oleh kelompok masyarakat. Buktinya udah banyak LSM yang peduli untuk ngurus mereka, sekaligus juga banyak yang gulung tikar. Ini menunjukkan bahwa kudu ada campur tangan negara untuk menyelesaikannya. Berapapun jumlah LSM yang peduli, kalo negara nggak merespon, tetep aja nggak bakaln kelar juga. Sebab, masalah ini adalah persoalan yang memang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Dalam Islam, seorang pemimpin itu akan dimintai tanggungjawabnya dalam mengatur rakyat. Ia seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Sabda Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam. Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil maka dia akan mendapat pahala, akan tetapi sekiranya dia menyuruh selain dari yang demikian itu, pasti dia akan menerima akibatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalo kita nggak ingin terus menyaksikan penderitaan anak jalanan, kita ingatkan para pejabat di negeri ini supaya menyelesaikan problem ini. Sebab semua itu adalah tanggungjawab bapak-bapak kita para pejabat negeri ini. Namun, tentu, harapan ini sulit berubah menjadi kenyataan, jika Islam tidak diterapkan sebagai sistem kehidupan di negeri ini.
Di bawah naungan Islam, insya Allah segalanya menjadi cerah dan jelas. Itu sebabnya, mulai sekarang kita belajar tentang Islam sampai ke akar-akarnya. Lalu sebarkan ajaran mulia ini kepada masyarakat. Agar dunia tahu, bahwa Islam amat peduli dengan kehidupan manusia di dunia ini. Juga agar dunia paham, bahwa kapitalisme ataupun sosialisme dan komunisme tak bisa menjanjikan apapun untuk menjamin kehidupan umat manusia selain kerusakan. Insya Allah dalam kehidupan Islam, nggak bakal ada lagi anak-anak terlantar!
Sumber : osolihin
0 komentar:
Posting Komentar